Juli

Berapa harga sebuah Juli?

Jika boleh, aku ingin memiliki Juli yang gugur. Juli yang melepaskan sisa-sisa rindu. Juli yang melepaskan segala harapan kita dulu, yang haus memadukan janji sampai tua dan berdebu. Yang pada akhirnya kita mungkin perlu sendiri - sendiri dulu.

Sudahlah, lupakan dulu tentang "kita".

Untuk sisa waktu di penghujung Juli.

Ke sekian kalinya aku terjebak; hanya bisa duduk diam lalu berargumen tentang banyak hal yang ada di benak. Membawa lari lembaran kisah rumit yang membuatku berontak. 

Kurasa hatiku benar-benar merasa usang. Aku terlalu jauh ingin berlayar sampai ke sebrang.

Kini hatiku menjadi benar-benar tidak perduli. Mungkin benar, tidak seharusnya aku mengorbankan banyak waktu yang segera pula waktu itu aku sudahkan. 

Apa iya pemikiran di kepala ku tentang segala ketidakmungkinan benar-benar nyata? Apa iya, hanya aku yang terlalu merasa jika semua ini bisa ku lewati tanpa peran siapa-siapa?

Sebaiknya kini, aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Lebih baik hati ini ku rampas seutuhnya. Tak perlu lagi aku merangkai kata-kata. Menyusun kalimat sastra yang ada di kepala. Aku bahkan tak ingin mengulang rangkaian indah, pun keinginan yang belum sempat ku dapati kepastiannya. 

Untuk Juli yang senantiasa ada di tiap tahun-nya. 

Terimakasih memberikan banyak warna dan cerita yang begitu panjang, selalu ada makna. Berjanjilah saja jika Juli akan selalu menemani, tetap seperti bulan-bulan selain Juli. Aku akan tetap mengingat mu meski tak harus ada di setiap tahunya, asal kau beri izin menyediakan-ku waktu sebanyak mungkin yang aku ingini.

Aku ingin setiap momen yang kau hadirkan pada Juli tersimpan rapi dalam kepala. Menjadi kepingan cerita yang paling di ingat dan di maknai keberadaannya.  Aku ingin berdiri, tetap kuat meski tak dengan cerita berdua. Satu-satunya aku saja tak apa.

Terakhir, sebelum Juli berakhir.

Aku beruntung terlahir pada Juli, yang memberiku waktu dan kesempatan sebaik ini menulismu sebagai Juli yang abadi.