Tuesday, October 16, 2018

Bayangan

0

Di hari kesekian sampai hari ini, aku kehabisan makna, menamaimu sebagai rindu. Pun dengan do'a aku tak bisa melihatmu. Aku seperti pemimpi, terlalu tinggi untuk mewujudkan kenyataan kecil. Seperti pelupa yang menghabiskan waktu dengan melamun.

Kau membuatku teralih, dari ketidak mauanku menjadikan apapun, menjadi "ya sudahlah".
Terlepas dari kenyataan - kenyataan yang menyudutkanku, terlepas dari bimbangnya sebuah keputusan.
Mungkin tidak tertulis di garis tangan untuk saling melengkapi.
Aku memaklumi ketidak mungkinan ini. Kalau memang belum ada jalan, aku bisa apa?

Kalau saja kesempatan yang aku punya waktu itu bisa ku ulang, mari bertemu di sudut jalan. Setidaknya ngobrol santai sambil menikmati cilok kekinian di pinggiran taman.
Yah? Kabar?
Tidak mungkin memang, namun cukup realistis untuk memintamu mengakui bahwa kehadiran-mu memang ada.

Kalau nanti waktu tak pamrih mempertemukanku denganmu, mulai saat itu, cobalah mengeti; aku melakukan semua hanya karna ingin melihatmu disini, menjadikanmu teman berdiskusi, aku ingin kau anggap, dimintai pendapat, bahkan jika boleh, aku ingin menemanimu seharian menghabiskan waktu libur.

Memang benar, wanita tak pernah sadar dengan logika, wanita selalu mamaknai perasaannya. Kau tahu, pun aku tak selalu ingin menganggapmu bayangan. Tapi kalau seterusnya aku begini, aku seperti di hantui.
Kau terlalu nyaman untuk ku simpan sebagai seseorang, bayangan yang kadang menggangu di waktu makan, senggang, dan lamunan panjang.

Ku kira aku bisa menguatkan diri sendiri, mengingatmu sama halnya menikmati senja di waktu sore. Pelan-pelan tenggelam di ujung barat, semakin menikmatimu, semakin akan hilang di sita malam, hanya menjadi bayang di bawah langit gelap.




0 komentar:

Post a Comment